Profil Orang Terkaya Yang ada Di Indonesia
1. R. Budi Hartono
Menjadi orang terkaya nomor satu di
Indonesia selama beberapa tahun berturut-turut itulah R. Budi Hartono yang merupakan pemilik Grup Djarum,
dilahirkan dengan nama lengkap Robert Budi Hartono pada
tanggal 28 April 1941 di Kota Semarang, Ayahnya bernama Oei Wie Gwan pemilik
usaha kecil Djarum Gramophon namanya diubah menjadi Djarum yang kelak menjadi
sebuah perusahaan rokok terbesar di dunia. Robert Budi Hartono yang memiliki
nama Tionghoa Oei Hwie Tjhong oleh Majalah Forbes dicaatat memiliki kekayaan
sebesar 8,5 Milyar Dollar atau 82.50 Trilyun Rupiah dan merupakan Orang terkaya nomor satu selama beberapa tahun di Indonesia
dan urutan 131 terkaya didunia. Semua berawal dari Mr. Oei Wie Gwan yang
membeli usaha kecil dalam bidang kretek bernama Djarum Gramophon pada tahun
1951 dann kemudian mengubah namanya menjadi Djarum. Oei mulai memasarkan kretek
dengan merek “Djarum” yang ternyata sukses di pasaran.
Setelah kebakaran hampir memusnahkan perusahaan pada tahun 1963, Djarum kembali
bangkit dan memodernisasikan peralatan di pabriknya. Robert dan kakaknya yaitu
Michael Budi Hartono menerima warisan ini setelah ayahnya meninggal. Pada saat
itu pabrik perusahaan Djarum baru saja terbakar dan mengalami kondisi yang
tidak stabil. Namun kemudian di tangan dua bersaudara Hartono, Perusahaan
Djarum bisa bertumbuh menjadi perusahaan raksasa. Pada tahun 1972 Djarum mulai
mengeskpor produk rokoknya ke luar negeri. Tiga tahun kemudian Djarum memasarkan
Djarum Filter, merek pertamanya yang diproduksi menggunakan mesin, diikuti
merek Djarum Super yang diperkenalkan pada tahun 1981. Saat ini, Di Amerika
Serikat pun perusahaan rokok ini memilki pangsa pasar yang besar. Dan di negeri
asalnya sendiri, Indonesia, produksi Djarum mencapai 48 milyar batang pertahun
atau 20% dari total produksi nasional. Seiring dengan pertumbuhannya,
perusahaan rokok ini menjelma dari perusahaan rokok menjadi Group Bisnis yang
berinvestasi di berbagai sektor. Djarum mereka, dilarang di Amerika Serikat
sejak 2009 bersama dengan rokok kretek
lainnya, karena telah diluncurkannya Dos Hermanos, sebuah cerutu premium
pencampuran tembakau Brasil dan Indonesia.
Robert Budi Hartono dengan Group Djarum yang dipimpinnya pun melebarkan sayap
ke banyak sektor antara lain perbankan, properti, agrobisnis, elektronik dan
multimedia. Diversifikasi bisnis dan investasi yang dilakukan Group Djarum ini
memperkokoh Imperium Bisnisnya yang berawal di tahun 1951. Di bidang
Agribisnis, Robert bersama Michael memiliki perkebunan sawit seluas 65.000
hektar yang terletak di provinsi Kalimantan Barat dari tahun 2008. Mereka
bergerak di bawah payung Hartono Plantations Indonesia, salah satu bagian dari
Group Djarum. Di bidang properti, banyak proyek yang dijalankan di bawah
kendali CEO Djarum ini, R. Budi Hartono, dan yang paling besar adalah mega
proyek Grand Indonesia yang ditantangani pada tahun 2004 dan selesai pada tahun
2008. Proyek ini mencakup hotel (renovasi dari Hotel Indonesia), pusat belanja,
gedung perkantoran 57 lantai dan apartemen. Total nilai investasinya 1,3
Triliun rupiah.
Majalah Globe Asia menyatakan Robert sebagai orang terkaya di Indonesia dengan
kekayaan 4,2 miliar dolar AS atau sekitar 37,8 triliun rupiah. Pada tahun yang
sama, R. Budi Hartono bersama kakaknya, Michael Hartono di bawah bendera Group
Djarum melebarkan investasi ke sektor perbankan. Dan mereka menjadi pemegang
saham utama, menguasai 51% saham, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) yang merupakan
salah satu bank terbesar di Indonesia saat ini. Berdasarkan data dari Bank
Indonesia akhir tahun 2011 nilai aset BCA sebesar Rp 380,927 Triliun (tiga
ratus delapan puluh koma sembilan ratus dua puluh tujuh rupiah). BCA yang
secara resmi berdiri pada tanggal 21 Februari 1957 dengan nama Bank Central
Asia NV. Banyak hal telah dilalui sejak saat berdirinya itu, dan barangkali
yang paling signifikan adalah krisis moneter yang terjadi di tahun 1997. Dan
bukti eksistensi grup Djarum adalah gedung pencakar langit di kompleks mega
proyek Grand Indonesia diberi nama Menara BCA. Karena bank BCA menjadi penyewa
utamanya dari tahun 2007 hingga 2035. Dengan demikian tergabunglah lingkungan
operasional dua raksasa bisnis Indonesia di tengah-tengah pusat ibukota yang
menjadi bukti keberkuasaan Djarum di kancah bisnis Indonesia
Robert Budi Hartono menikah seorang wanita bernama Widowati Hartono atau lebih
akrab dengan nama Giok Hartono. Bersamanya Widowati Hartono, Pemilik PT Djarum
ini memiliki tiga orang putra yang kesemuanya telah menyelesaikan pendidikan.
Mereka adalah Victor Hartono, Martin Hartono, dan Armand Hartono. Disisi lain,
Robert Budi Hartono Sangat menyukai olahraga bulutangkis yang bermula dari
sekedar hobi lalu mendirikan Perkumpulan Bulutangkis (PB) Djarum pada tahun
1969. Dari lapangan bulutangkis di tempat melinting kretek, Robert Budi Hartono
menemukan talenta anak muda berbakat asli Kudus. Anak muda itu dimatanya,
memiliki semangat juang yang tinggi, mental yang hebat dan fisik yang prima.
Tak salah intuisinya, karena dalam kurun waktu yang tidak lama, anak itu
mengharumkan nama bangsa di pentas dunia. Anak muda itu adalah Liem Swie King,
yang terkenal dengan julukan “King Smash”.
Disamping itu bersama kakaknya yaitu Michael Budi Hartono,mereka menjadi
pemilik Grand Indonesia dan perusahaan elektronik. Salah satu bisnis Group
Djarum di sektor ini bergerak di bawah bendera Polytron yang telah beroperasi
lebih dari 30 tahun. Perusahaan Polytron ini kini juga memproduksi ponsel yang
sebelumnya hanya meproduksi AC, kulkas, produk video dan audio, dan dispenser.
Melalui perusahaan yang baru dibuat yakni Ventures Global Prima Digital, mereka
juga membeli Kaskus, yang merupakan salah satu situs terbesar di Indonesia.
Chairul Tanjung dilahirkan di Jakarta. Ia
anak A.G. Tanjung, seorang wartawan di zaman orde lama yang pernah menerbitkan
lima surat kabar beroplah kecil. Chairul dan keenam saudaranya hidup
berkecukupan. Namun, pada zaman Orde Baru, sang ayah dipaksa menutup usaha
persnya karena berseberangan secara politik dengan penguasa.
Setamat SMA, Chairul masuk Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia pada
tahun 1981. Chairul menghadapi masalah pada biaya kuliahnya. Ia pun mulai
berbisnis dari dasar sekali, berjualan buku kuliah stensilan, kaos, dan lainnya
di kampusnya. Selanjutnya, ia membuka sebuah toko peralatan kedokteran dan
laboratorium di bilangan Senen Raya, Jakarta Pusat tapi bangkrut.
Setelah menutup tokonya, Chairul membuka usaha kontraktor. Kurang berhasil,
Chairul bekerja di industri baja dan kemudian pindah ke industri rotan. Waktu
itulah, ia bersama tiga rekannya ia membangun PT Pariarti Shindutama. Bermodal
awal Rp 150 juta dari Bank Exim, mereka memproduksi sepatu anak-anak untuk
ekspor. Keberuntungan berpihak padanya, karena perusahaannya langsung mendapat
pesanan 160 ribu pasang sepatu dari Italia. Dari sini usahanya merambah ke
industri genting, sandal dan properti. Sayang, karena perbedaan visi tentang ekspansi
usaha dengan ketiga rekannya, Chairul memilih menjalankan usahanya
sendiri.
Mengarahkan usahanya ke konglomerasi, Chairul mereposisikan dirinya ke tiga
bisnis inti : keuangan, properti, dan multi media. Di bidang keuangan, ia
mengambil alih Bank Tugu yang kini bernama Bank Mega yang kini telah naik
peringkatnya dari bank urutan bawah ke bank kelas atas. Selain memiliki
perusahaan sekuritas, ia juga merambah ke bisnis asuransi jiwa dan asuransi
kerugian. Di sektor sekuritas, lelaki kelahiran Jakarta ini mempunyai
perusahaan real estate dan pada tahun 1999 telah mendirikan Bandung Supermall.
Di bisnis multimedia, Chairul mendirikan Trans TV, di samping menangani stasion
radio dan media on line atau satelit. Ia juga bersiap untuk masuk ke media cetak.
Di tengah persaingan yang ketat di sektor media televisi, Chairul merasa yakin
Trans TV akan mampu bersaing. Ini karena ia melihat pada belanja iklan nasional
yang sudah mencapai Rp 6 triliun setahun, 70% di antaranya akan diambil oleh
televisi. Jumlah perusahaan Chairul, yaitu Para Group mempunyai Para Inti
Holdindo sebagai father holding company, yang membawahi beberapa sub holding
seperti : Para Global Investindo (bisnis keuangan), Para Inti Investindo (media
dan investasi) dan Para Inti Propertindo (properti) dan jumlah karyawan yang
dipekerjakan ku Indonesia.
"Jadi harus betul-betul membela kepentingan kita, jangan justru
sebaliknya," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan
Wanandi saat dihubungi detikFinance, Minggu (18/4/2010).
Sofjan mengakui langkah Para Group tersebut merupakan aksi yang positif bagi
dunia usaha di Indonesia. Selain itu, kata dia, kehadiran pengusaha lokal
disebuah perusahaan asing akan memberikan keyakinan bahwa kiprah Carrefour di
Indonesia tidak semata-mata hanya untuk kepentingan pemodal asing.
"Saya harapkan Chairul Tanjung bisa mebantu para pelaku UKM, dengan dia
masuk tidak lagi menimbulkan konfrontasi, jadi kuncinya ada di Chairul
Tanjung," katanya.
Seperti diketahui, Chairul Tanjung melalui kelompok usahanya yaitu Para Group
mengakuisisi 40% saham PT Carrefour Indonesia senilai lebih dari Rp 3 triliun.
Akuisisi itu dilakukan Trans Corp melalui PT Trans Ritel, sebuah anak
perusahaan Trans Corp.
Setelah akuisisi oleh Trans Corp ini, maka komposisi pemegang saham PT
Carrefour Indonesia adalah Trans Ritel (40%), Carrefour SA 39%, Carrefour
Netherland BV 9,5%, dan Onesia BV 11,5%.
Setelah membeli 40% saham Carrefour, Chairul kini menjadi komisaris utama PT
Carrefour Indonesia didampingi oleh AM Hendropriyono (mantan Kepala BIN) dan
S.Bimantoro (mantan petinggi Polri) sebagai komisaris.
Gurita bisnis Chairul Tanjung memang sudah meluas. Setelah menguasai bisnis
stasiun televisi, bank hingga waralaba, Chairul Tanjung meluaskan bisnisnya ke
ritel dengan membeli 40% saham PT Carrefour Indonesia.
Setelah akuisisi oleh Trans Corp ini, maka komposisi pemegang saham PT
Carrefour Indonesia adalah Trans Ritel (40%), Carrefour SA 39%, Carrefour
Netherland BV 9,5%, dan Onesia BV 11,5%.
Chairul Tanjung menempatkan dirinya pada urutan ke 937 dari 1.000 orang terkaya
didunia versi majalah forbes dengan total kekayaan senilai US$ 1 Miliar.
sedangkan daftar 40 orang terkaya Indonesia tahun 2009 versi Forbes yang
dirilis, Kamis (3/12/2009) lalu. Chairul Tanjung menempatkan dirinya pada
posisi ke 13 .
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN :
SD Van Lith, Jakarta (1975)
SMP Van Lith, Jakarta (1978)
SMA Negeri 1 Budi Utomo, Jakarta (1981)
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (1987)
KEGIATAN LAIN :
Anggota Komite Penasihat Prakarsa Jakarta
(Restrukturisasi Perusahaan)
Delegasi Indonesia untuk Asia-Europe
Business Forum
Anggota Pacific Basin Economic Council
Pengurus Yayasan Kesenian Jakarta
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Bulutangkis
Seluruh Indonesia
Anggota Majelis Wali Amanat Universitas
Indonesia
Ketua Yayasan Indone
3. Eka Tjipta Widjaja
Eka Tjipta Widjaja merupakan seorang pengusaha dan konglomerat
Indonesia, Berkat keuletannya dalam menjalankan bisnis perusahaannya, ia
merupakan salah satu orang terkaya di Indonesia menurut Majalah Globe Asia
edisi bulan desember 2012 dengan kekayaan mencapai 8,7 milyar Dolar Amerika
Serikat. Pada tahun 2011, menurut Forbes, ia menduduki peringkat ke-3 orang
terkaya di Indonesia, dengan total kekayaan US$ 8 miliar, beliau merupakan
pendiri sekaligus pemilik dari Sinar Mas Group, Bisnis
utamanya adalah pulp dan kertas, agribisnis, properti dan jasa keuangan. Nama
asli Eka Tjipta Widjaja adalah Oei Ek Tjhong, beliau dilahirkan pada tanggal 3
Oktober 1923 di China, Ia terlahir dari keluarga yang amat miskin. Ia pindah ke
Indonesia saat umurnya masih sangat muda yaitu umur 9 tahun. Tepatnya pada
tahun 1932, Eka Tjipta Widjaya yang saat itu masih dipanggil Oei Ek Tjhong
akhirnya pindah ke kota Makassar
"Bersama ibu, saya ke Makassar
tahun 1932 pada usia sembilan tahun. Kami berlayar tujuh hari tujuh malam.
Lantaran miskin, kami hanya bisa tidur di tempat paling buruk di kapal, di
bawah kelas dek. Hendak makan masakan enak, tak mampu. Ada uang lima dollar,
tetapi tak bisa dibelanjakan, karena untuk ke Indonesia saja kami masih
berutang pada rentenir, 150 dollar"
Tiba di Makassar, Eka kecil segera
membantu ayahnya yang sudah lebih dulu tiba dan mempunyai toko kecil. Tujuannya
jelas, segera mendapatkan 150 dollar, guna dibayarkan kepada rentenir. Dua tahun
kemudian, utang terbayar, toko ayahnya maju. Eka pun minta Sekolah. Tapi Eka
menolak duduk di kelas satu. Eka Tjipta Widjaja bukanlah seorang sarjana,
doktor, maupun gelar-gelar yang lain yang disandang para mahasiswa ketika
mereka berhasil menamatkan studi. Namun beliau hanya lulus dari sebuah sekolah
dasar di Makassar. Hal ini dikarenakan kehidupannya yang serba kekurangan. Ia
harus merelakan pendidikannya demi untuk membantu orang tua dalam menyelesaikan
hutangnya ke rentenir. Tamat SD, ia tak bisa melanjutkan sekolahnya karena
masalah ekonomi. Ia pun mulai jualan.
Ia keliling kota Makassar, Dengan mengendarai sepeda, ia keliling kota Makasar
menjajakan door to door permen, biskuit, serta aneka barang dagangan toko
ayahnya. Dengan ketekunannya, usahanya mulai menunjukkan hasil. Saat usianya 15
tahun, Eka mencari pemasok kembang gula dan biskuit dengan mengendarai
sepedanya. Ia harus melewati hutan-hutan lebat, dengan kondisi jalanan yang
belum seperti sekarang ini. Kebanyakan pemasok tidak mempercayainya. Umumnya
mereka meminta pembayaran di muka, sebelum barang dapat dibawa pulang oleh Eka.
Hanya dua bulan, ia sudah mengail laba Rp. 20, jumlah yang besar masa itu.
Harga beras ketika itu masih 3-4 sen per kilogram. Melihat 1 usahanya
berkembang, Eka membeli becak untuk memuat barangnya.
Namun ketika usahanya tumbuh subur, datang Jepang menyerbu Indonesia, termasuk
ke Makassar, sehingga usahanya hancur total. Ia menganggur total, tak ada
barang impor/ekspor yang bisa dijual. Total laba Rp. 2000 yang ia kumpulkan
susah payah selama beberapa tahun, habis dibelanjakan untuk kebutuhan
sehari-hari. Di tengah harapan yang nyaris putus, Eka mengayuh sepeda bututnya
dan keliling Makassar. Sampailah ia ke Paotere (pinggiran Makassar, kini salah
satu pangkalan perahu terbesar di luar Jawa). Di situ ia melihat betapa ratusan
tentara Jepang sedang mengawasi ratusan tawanan pasukan Belanda. Tapi bukan
tentara Jepang dan Belanda itu yang menarik Eka, melainkan tumpukan terigu,
semen, gula, yang masih dalam keadaan baik. Otak bisnis Eka segera berputar.
Secepatnya ia kembali ke rumah dan mengadakan persiapan untuk membuka tenda di
dekat lokasi itu. Ia merencanakan menjual makanan dan minuman kepada tentara
Jepang yang ada di lapangan kerja itu.
Keesokan harinya, masih pukul empat
subuh, Eka sudah di Paotere. Ia membawa serta kopi, gula, kaleng bekas minyak
tanah yang diisi air, oven kecil berisi arang untuk membuat air 2 panas,
cangkir, sendok dan sebagainya. Semula alat itu ia pinjam dari ibunya. Enam
ekor ayam ayahnya ikut ia pinjam. Ayam itu dipotong dan dibikin ayam putih
gosok garam. Dia juga pinjam satu botol wiskey, satu botol brandy dan satu botol
anggur dari teman-temannya. Jam tujuh pagi ia sudah siap jualan. Benar saja,
pukul tujuh, 30 orang Jepang dan tawanan Belanda mulai datang bekerja. Tapi
sampai pukul sembilan pagi, tidak ada pengunjung. Eka memutuskan mendekati bos
pasukan Jepang. Eka mentraktir si Jepang makan minum di tenda. Setelah
mencicipi seperempat ayam komplit dengan kecap cuka dan bawang putih, minum dua
teguk whisky gratis, si Jepang bilang joto. Setelah itu, semua anak buahnya dan
tawanan diperbolehkan makan minum di tenda Eka. Tentu saja ia minta izin
mengangkat semua barang yang sudah dibuang.
Segera Eka mengerahkan anak-anak sekampung mengangkat barang-barang itu dan
membayar mereka 5 – 10 sen. Semua barang diangkat ke rumah dengan becak. Rumah
berikut halaman Eka, dan setengah halaman tetangga penuh terisi segala macam
barang. Ia pun bekerja keras memilih apa yang dapat dipakai dan dijual. Terigu
misalnya, yang masih baik dipisahkan. Yang sudah keras ditumbuk kembali dan
dirawat 3 sampai dapat dipakai lagi. Ia pun belajar bagaimana menjahit karung.
Karena waktu itu keadaan perang, maka suplai bahan bangunan dan barang
keperluan sangat kurang. Itu sebabnya semen, terigu, arak Cina dan barang
lainnya yang ia peroleh dari puing-puing itu menjadi sangat berharga. Ia mulai
menjual terigu. Semula hanya Rp. 50 per karung, lalu ia menaikkan menjadi Rp.
60, dan akhirnya Rp. 150. Untuk semen, ia mulai jual Rp. 20 per karung,
kemudian Rp. 40.
Kala itu ada kontraktor hendak membeli semennya, untuk membuat kuburan orang
kaya. Tentu Eka menolak, sebab menurut dia ngapain jual semen ke kontraktor?
Maka Eka pun kemudian menjadi kontraktor pembuat kuburan orang kaya. Ia bayar
tukang Rp. 15 per hari ditambah 20 persen saham kosong untuk mengadakan kontrak
pembuatan enam kuburan mewah. Ia mulai dengan Rp. 3.500 per kuburan, dan yang
terakhir membayar Rp. 6.000. Setelah semen dan besi beton habis, ia berhenti sebagai
kontraktor kuburan. Demikianlah Eka, berhenti sebagai kontraktor kuburan, ia
berdagang kopra, dan berlayar berhari-hari ke Selayar (Selatan Sulsel) dan ke
sentra-sentra kopra lainnya untuk memperoleh kopra murah. Eka mereguk laba
besar, tetapi mendadak ia nyaris bangkrut karena Jepang mengeluarkan peraturan
bahwa jual beli minyak kelapa dikuasai Mitsubishi yang memberi Rp. 1,80 per
kaleng. Padahal di pasaran harga per kaleng Rp. 6. Eka rugi besar. Ia mencari
peluang lain. Berdagang gula, lalu teng-teng (makanan khas Makassar dari gula
merah dan kacang tanah), wijen, kembang gula. Tapi ketika mulai berkibar, harga
gula jatuh, ia rugi besar, modalnya habis lagi, bahkan berutang. Eka harus
menjual mobil jip, dua sedan serta menjual perhiasan keluarga termasuk cincin
kimpoi untuk menutup utang dagang.
Tapi Eka berusaha lagi. Dari usaha leveransir dan aneka kebutuhan lainnya.
Usahanya juga masih jatuh bangun. Misalnya, ketika sudah berkibar tahun
1950-an, ada Permesta, dan barang dagangannya, terutama kopra habis dijarah
oknum-oknum Permesta. Modal dia habis lagi. Namun Eka bangkit lagi, dan
berdagang lagi. Pada tahun 1980, ia memutuskan untuk melanjutkan usahanya yaitu
menjadi seorang entrepreneur seperti masa mudanya dulu. Ia membeli sebidang
perkebunan kelapa sawit dengan luas lahan 10 ribu hektar yang berlokasi di
Riau. Tak tanggung-tanggung, beliau juga membeli mesin dan pabrik yang bisa
memuat hingga 60 ribu ton kelapa sawit. Bisnis yang dia bangun berkembang
sangat pesat dan dia memutuskan untuk menambah bisnisnya. Pada tahun 1981
beliau membeli perkebunan sekaligus pabrik teh dengan luas mencapai 1000 hektar
dan pabriknya mempunyai kapasitas 20 ribu ton teh.
Selain berbisnis di bidang kelapa sawit
dan teh, Eka Tjipta Widjaja juga mulai merintis bisnis bank. Ia membeli Bank
Internasional Indonesia dengan asset mencapai 13 milyar rupiah. Namun setelah
beliau kelola, bank tersebut menjadi besar dan memiliki 40 cabang dan cabang
pembantu yang dulunya hanya 2 cabang dan asetnya kini mencapai 9,2 trilliun rupiah.
Bisnis yang semakin banyak membuat Eka Tjipta Widjaja menjadi semakin sibuk dan
kaya. Ia juga mulai merambah ke bisnis kertas. Hal ini dibuktikan dengan
dibelinya PT Indah Kiat yang bisa memproduksi hingga 700 ribu pulp per tahun
dan bisa memproduksi kertas hingga 650 ribu per tahun. Pemilik Sinarmas Group
ini juga membangun ITC Mangga Dua dan Green View apartemen yang berada di Roxy,
dan tak ketinggalan pula ia bangun Ambassador di Kuningan.
Eka Tjipta Widjaja mempunyai keluarga yang selalu mendukungnya dalam hal bisnis
dan kehidupannya. Beliau menikah dengan seorang wanita bernama Melfie Pirieh
Widjaja dan mempunyai 7 orang anak. Anak-anaknya adalah Nanny Widjaja, Lanny
Widjaja, Jimmy Widjaja, Fenny Widjaja, Inneke Widjaja, Chenny Widjaja, dan Meilay
Widjaja.
4. Anthony Salim
Anthony Salim alias Liem Hong Sien, CEO Group Salim (generasi
kedua) terpilih sebagai salah seorang 10 Tokoh Bisnis Paling Berpengaruh 2005
versi Warta Ekonomi. Dia dinilai berhasil membangun kembali kerajaan bisnis
Salim Group, setelah sempat mengalami kemunduran akibat krisis ekonomi 1998.
Sebelum krisis moneter dan ekonomi 1998, Group Salim terbilang
konglomerasi terbesar di Indonesia dengan aset mencapai US$ 10 milyar (sekitar
Rp 100 trilyun). Majalah Forbes bahkan pernah menobatkan Liem Sioe Liong,
pendiri Grup Salim, sebagai salah satu orang terkaya di dunia.
Bank Central Asia (BCA), miliknya di-rush pada saat krisis multidimensional 1998
itu. Untuk mengatasinya, terpaksa menggunakan BLBI dan akibatnya berutang Rp 52
trilyun. Anthony yang sudah dipercayakan memegang kendali perusahaan
menggantikan ayahandanya Sudono Salim (Liem Sioe Liong) ini pun bertanggung
jawab.
Dia melunasi seluruh utangnya, walaupun harus terpaksa melepas
beberapa perusahaan. Di antara perusahaan yang dilepas adalah PT Indocement
Tunggal Perkasa, PT BCA (kemudian dikuasai Farallon Capital dan Grup Djarum)
dan PT Indomobil Sukses Internasional.
Namun, dia tetap mempertahankan beberapa perusahaan, di
antaranya PT Indofood Sukses Makmur Tbk, dan PT Bogasari Flour Mills, yang
merupakan produsen mi instan dan terigu terbesar di dunia. Selain itu juga
berkibar beberapa perusahaan di luar negeri, di antaranya di Hong Kong,
Thailand, Filipina, Cina dan India.
Majalah Globe Asia menobatkan Anthony Salim, bos Grup Indofood
sebagai taipan terkaya ketiga Indonesia. Dia berada di bawah posisi Budi
Hartono (Grup Djarum) dan Eka Tjipta Widjaja (Grup Sinar Mas). Menurut
perhitungan majalah itu - yang didasarkan pada nilai kepemilikan saham baik
yang listed atau non listed - Anthoni memiliki harta US$ 3 miliar atau sekitar
Rp 27 triliun.
Kini Indofood terus tumbuh dan berkembang sebagai raja industri
makanan di Indonesia. Bahkan, bisnis Indofood kian terintegrasi dan bergerak
dari hulu hingga hilir. Perusahaan ini bergerak di sektor agribisnis, industri
tepung terigu, produk makanan hingga menguasai jalur distribusi.
Sejumlah produk konsumen bermerek made in Indofood sudah dikenal
luas di kalangan masyarakat Indonesia, seperti mie instan (Indomie, Supermi dan
Sarimi), susu Indomilk, tepung terigu Bogasari (Segitiga Biru, Kunci Biru dan
Cakra Kembar), minyak goreng (Bimoli) hingga mentega (Simas Palmia).
Di bawah komando Anthony, pada tahun lalu, Indofood membukukan
laba bersih Rp 2 triliun. "Kami senang, meskipun harga komoditas terus
bergejolak, namun kami berhasil mencapai rekor laba bersih tertinggi,"
ujar Anthony dalam laporan keuangan Indofood 2009 yang dipublikasikan baru-baru
ini.
Menurut dia, Indofood berhasil melewati berbagai tantangan dalam
kurun waktu lima tahun yang sulit ini. Bisnis model yang terdiri dari agribinis
dan non-agribisnis, telah membuktikan ketangguhannya dalam dua tahun terakhir
ini saat harga komoditas bergejolak.
Dia mengakui krisis ekonomi global 2008 memang mengakibatkan
penurunan harga berbagai komoditas secara tajam dan menurunkan tingkat inflasi.
Pendapatan divisi agribisnis Indofood juga terpengaruh. Nilai penjualan
Bogasari juga menurun karena harga tepung turun. Namun, dia menekankan
turunnya harga komoditas justru berdampak positif bagi Produk Konsumen
Bermerek. Permintaan atas produk konsumen bermerek meningkat seiring naiknya
daya beli konsumen.
Untuk mengambil peluang yang ada dan mempertahankan kepemimpinan
pasar, Indofood memilih memperkuat brand equity melalui investasi secara terus
menerus di berbagai merek yang kami miliki. "Kami fokuskan program
komunikasi menyeluruh untuk meningkatkan awareness konsumen guna menjaga
loyalitas."
Di samping itu, dia mengaku meluncurkan berbagai produk baru
yang inovatif dan sesuai kebutuhan pasar. Dua varian baru cup noodles yang
diluncurkan pada 2009, kata dia, sangat sukses di pasaran. Untuk menembus pasar
di daerah pedesaan, Anthony menyebutkan Indofood mengembangkan program “Raja
Desa”. Tujuannya, untuk memperdalam penetrasi distribusi dan meningkatkan
ketersediaan produk-produk di pedesaan.
Putra Liem Sioe Liong ini tak mau kerajaan bisnisnya, PT
Indofood Sukses Makmur Tbk., berhenti berekspansi dan berinovasi. “Setiap
perusahaan harus berbenah diri, apalagi dalam iklim kompetisi,” kata Anthony.
Untuk mendukung rencananya itu, Anthony pun menggandeng Nestle S.A. Keduanya
sepakat untuk memperlebar pangsa pasar Indofood dan Nestle. Deal bisnis antara
dua kerajaan makanan dan minuman ini berujung pada pendirian PT Nestle Indofood
Citarasa Indonesia. Perusahaan berstatus PMA ini menyedot dana Rp50 miliar,
dengan masing-masing pihak menyetor 50%.
“Pendirian usaha patungan baru ini akan menciptakan peluang
untuk memanfaatkan dan mengembangkan kekuatan yang dimiliki kedua perusahaan,”
kata Anthony. Ia percaya reputasi yang dimiliki kedua perusahaan setidaknya
bisa mendongkrak nilai tambah bagi masyarakat dan pemegang saham. Perusahaan
tersebut akan bergerak di bidang manufaktur, penjualan, pemasaran, dan
distribusi produk kuliner. Ke depan, Indofood masih akan memberi lisensi
penggunaan merek produk kuliner kepada Nestle-Indofood. Indofood sendiri
memiliki kekuatan pada profil produksi rendah biaya, jangkauan distribusi yang
luas, dan kecepatan menjangkau konsumen melalui anak perusahaannya, PT
Indosentra Pelangi, yang menjadi pemain utama di bidang industri bumbu penyedap
makanan.
Anthony melihat bahwa perusahaan yang dipimpinnya adalah kapal
yang besar dengan 50.000 karyawan. Harus ada komunikasi yang baik agar kinerja
perusahaan dapat terfokus tajam dalam melihat pasar. Kata Anthony, sebenarnya
aktivitas bisnis yang dilakukan selama ini banyak, hanya saja tidak terlihat.
“Indonesia masih menjanjikan imbal hasil yang tinggi dalam bisnis,” ungkapnya.
KARIR
CEO Salim Group (0)
Presiden Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk (2004)
Non-Executive Chairman and Chairman of Nomination Committee
First Pacific Company Ltd (2003)
Former Non-executive Director Elders Limited
Member of International Advisory Board Allianz SE
President Commissioner Fastfood Indonesia PT
Former President Commissioner PT Indomobil Sukses Internasional
Tbk
President Director and Member of the Board of the Directors PT
Indofood CBP Sukses Makmur
PENGHARGAAN
Tokoh Bisnis Paling Berpengaruh 2005
5. Sri Prakash Lohia
Sri Prakash Lohia adalah
pendiri dan ketua Indorama Corporation. Indorama Corporation
adalah perusahaan petrokimia dan tekstil.
Lohia lahir dan besar di India, tetapi menghabiskan sebagian
besar masa hidup profesionalnya di Indonesia sejak tahun 1974. Pada
tahun 2013, Forbes menempatkannya sebagai orang terkaya ke-6 di Indonesia
dengan kekayaan bersih US$3 miliar.
Lohia lahir di Kolkata pada tanggal 11 Agustus 1952 dari
pasangan M.L. Lohia dan Kanchan Devi Lohia. Ia memiliki tiga saudara yaitu Ajey
(Ajay Prakash), Aloke (Alok atau Anil Prakash),
dan satu saudari yaitu Aruna. Lohia lulus dari University of Delhi pada
tahun 1971 dengan gelar Bachelor of Commerce.
Pada tahun 1973, Lohia pindah ke Indonesia bersama ayahnya,
Mohan Lal Lohia, dan merintis Indorama Synthetics. Perusahaan tersebut mulai
memproduksi benang pintal tahun 1976. Pada 1991, Indorama Synthetics melakukan
diversifikasi dan merambah industri serat poliester. Resin poliester botol
(PET) mulai diproduksi tahun 1995.
Tahun 2006, Lohia mengakuisisi pabrik olefin terintegrasi di
Nigeria dan saat ini merupakan perusahaan petrokimia terbesar di Afrika Barat
sekaligus produsen olefin terbesar kedua di benua Afrika. Indorama Corporation adalah perusahaan holding utama milik
Lohia yang berkantor pusat di Singapura.
Pada tahun 2012, Lohia dianugerahi Pravasi
Bharatiya Samman Award
(Overseas Indian Award) oleh Presiden
India. Tahun 2013, Lohia adalah miliarder terkaya ke-395 di dunia
dengan kekayaan bersih sebesar $3,4 miliar (versi majalah Forbes).
Lohia bersama istrinya, Seema, dikaruniai dua anak, Amit dan
Shruti. Putranya, Amit Lohia, lulus magna
cum laude dari University of
Pennsylvania’s Wharton School of Business. Ia
saat ini menjabat sebagai direktur pelaksana Indorama Corporation dan direktur
di sejumlah anak perusahaan Indorama. Putri Lohia, Shruti Hora, lulus dai
Babson College dan saat ini menetap di Singapura. Lohia adalah adik ipar Lakshmi
Mittal.
Lohia memiliki salah satu koleksi buku tua dan litograf terbesar
di dunia. Ia memiliki koleksi
litograf berwarna terbesar kedua di dunia. Saat ini ia terlibat dalam proyek
digitalisasi semua litograf yang dikoleksinya dan yang tersimpan di
perpustakaan-perpustakaan besar di seluruh dunia.
Tidak semua orang terkaya Indonesia
dalam daftar Forbes berasal dari Sumatra atau keturunan Tiongkok. Kelahiran
India, Sri Prakash Lohia, adalah pemilik manufaktur serat poliester Indorama
Ventures (dulu bernama Indorama Synthetics) yang sukses. Walaupun dia hanya meneruskan
bisnis keluarga, dia berhasil membawa bisnis tersebut ke level selanjutnya
dengan mendaftarkan perusahaan tersebut dalam Bursa Efek Bangkok. Dia pun
berhasil memulai perusahaan bertaraf internasional lainnya yang membuatnya
makin kaya.
Walaupun dia sekarang menetap di London
untuk mengelola bisnis internasionalnya, dia tetap orang Indonesia yang
dibanggakan yang bahkan membuka sebuah sekolah politeknik bernama Polytechnic
Engineering School Indorama, serta dia menginvestasikan banyak uang di sana. Dia
juga mempunyai beberapa perusahaan di negara-negara lain seperti Turki dan
Nigeria, dan salah seorang anaknya kini membantunya menangani beberapa aspek
bisnisnya.
Awal dari Bisnis Keluarga
Sri Prakash Lohia lahir di India pada
tahun 1956, tapi kemudian pindah dengan keluarganya ke Indonesia pada 1973.
Ayahnya, Mohan Lal Lahia, telah memiliki sebuah bisnis garmen kecil, yang
menginspirasi Sri Prakash untuk kemudian memulai sebuah perusahaan baru bernama
Indorama Synthetics pada 1976. Awalnya, perusahaannya hanya memproduksi benang
sintetis, tapi kemudian dia dan saudara laki-lakinya, Anil Prakash, mulai
memperluas produk-produk mereka seperti serat poliester dan PET (poliester
tingkat botol). Setelah itu pada tahun 1995, perusahaannya juga memproduksi produk-produk
resin, dan keuntungannya mulai mengalir dalam jumlah yang sangat signifikan.
Dari satu perusahaan, bisnis Sri Prakash
kemudian diperluas ke Indorama Shebin, ISIN Lanka, dan Indorama IPLIK; seluruh
perusahaan tersebut memproduksi produk-produk yang berkaitan dengan serat
sintetis seperti polipropilen, resin PET, polietilen, dan sejenisnya. Kemudian,
dia pun mendirikan Medisa Technologies yang membuat sarung tangan medis.
Bidang-bidang Bisnis Lain
Sri Prakash Lohia tidak hanya sukses
dalam industri serat sintetis. Pada tahun 1995, Indorama merambah bisnis
properti yang cukup sukses. Kemudian pada tahun 2006, dia membangun sebuah
pabrik olefin baru di Afrika Barat, yang kemudian berkembang menjadi fasilitas
olefin terbesar kedua di Afrika. Akhirnya, pada tahun 2009, Indorama dikenal
sebagai manufaktur serat sintetis terbesar di dunia, dan perusahaan kemudian
didaftarkan di Bursa Efek Bangkok. Kesuksesan internasional Indorama kemudian
berkembang ke area-area yang lebih luas di dunia, dan Indorama Synthetics
menjadi Indorama Ventures.
Saat ini, Sri Prakash Lohia dibantu
putranya, Amit, dalam menangani beberapa aspek bisnisnya. Lulus dari Wharton
School of Business di Pennsylvania, Amit kini menjadi manajer untuk Indorama
serta membantu ayahnya dalam beberapa bisnisnya.
6. Peter Sondakh
Hari itu tentu menjadi momen menyedihkan bagi Peter Sondakh,
ayahnya B.J Sondakh wafat secara mendadak pada tahun 1975. Sang ayah
meninggalkan keluarga dan bisnis yang telah dirintisnya sejak awal di tahun
1954 berupa produksi minyak kelapa dan ekspor kayu. Setelah ayahnya wafat,
Peter Sondakh yang baru berumur dua puluh dua, mengganti posisi ayahnya menjadi
tulang punggung untuk menafkahi keluarganya dari seorang ibu dan empat saudara
perempuan. Dia juga mengambil alih bisnis ayahnya, padahal kala itu sebagian
besar karyawan telah seusia ayahnya.
Naluri bisnis ayahnya mengalir deras dalam tubuh Peter, namanya
tercatat sebagai pemegang saham PT Bumi Modern sejak 1976. Saat itu, Peter baru
berusia 24 tahun. Lalu pada tahun 1984 dia kemudian sukses membesarkan
perusahaannya di bawah bendera PT Rajawali Wira Bhakti Utama. Perusahaan inilah
cikal bakal dari Grup Rajawali, perusahaan holding yang kemudian di kenal
dengan nama PT Rajawali Corporation (RC). Kabarnya, salah satu proyek
yang berkontribusi pada awal kemajuan bisnisnya saat Peter mendapat kesempatan
menjual lahan kedutaan Indonesia di Singapura pada tahun 80an.
Satu hal yang selalu diingat oleh Peter Sondakh adalah keinginan
ayahnya untuk membuka sebuah hotel. Seiring waktu berjalan, peluang untuk
mewujudkan impian ayahnya itu terbuka lebar ketika melalui PT Bumi Modern Peter
berhasil menggandeng Asuransi Bumi Putera untuk membangun Hotel Hyatt di
Surabaya. Setelah itu, bersama Bambang Trihatmodjo, putra presiden Indonesia,
Soeharto, mereka kemudian membangun Grand Hyatt di Jakarta. Bambang adalah
mitra bisnis pertamanya.
Kerjasama Peter Sondakh dengan keluarga Cendana terus berlanjut.
Setelah sukses membangun Grand Hyatt, mereka kemudian memperluas jangkauan bisnis
dengan mendirikan jaringan televisi swasta pertama di Indonesia Rajawali Citra
Televisi Indonesia (RCTI). Hebatnya, mulai periode 1976-1996 Grup Rajawali
telah memiliki lima sektor usaha, yaitu: pariwisata, transportasi, keuangan,
perdagangan, dan jasa telekomunikasi.
Pada saat Peter Sondakh menjalankan bisnis hotel dan
televisinya, tahun 1991 pemerintah Indonesia menawarinya bisnis baru, yaitu
menangani perusahaan yang hampir bangkrut, PT Bentoel Group. Peter Sondakh pun
menerima tawaran tersebut dan perlahan namun pasti mampu menaikkan citra PT
Bentoel kembali. Akhirnya Pada tahun 1999, PT Bentoel Group sudah mulai
menunjukkan adanya keuntungan.
Peter Sondakh dikenal sebagai pebisnis ulung dan piawai dalam
menggunakan koneksi tingkat tinggi. Bersama Bambang Trihatmodjo, Grup Rajawali
ikut membangun Plaza Indonesia bersama PT Bimantara. Rajawali juga merambah
sektor telekomunikasi dengan mendirikan Excelcomindo Pratama, yang dioperasikan
sejak 1996 dan kemudian dijual ke Telekom Malaysia.
Toh, perjalanan bisnis Peter tak selalu berjalan mulus. Krisis
moneter 1997-1998 sempat menenggelamkan nama Peter Sondakh dalam kancah bisnis
di Indonesia. Seperti beberapa konglomerat yang lain, ia juga menanggung utang
yang luar biasa besar kepada BPPN sebesar Rp 2,1 triliun yang berasal dari 17
anak perusahaannya. Tetapi, tak jelas dari mana Peter kemudian bisa membayar
utangnya. Ramai diberitakan media, pada 2000 semua utang tersebut dinyatakan
lunas.
Peter terpaksa melepaskan kepemilikan sahamnya di Apotek
Guardian, RCTI, dan Lombok Tourism. Bahkan bank miliknya, Bank Pos, ikut
dibekukan karena kesulitan likuiditas akibat krisis. Namun, seperti burung
Rajawali, Peter Sondakh kelihatan pantang menyerah mengepakkan sayap usahanya.
Mata dan nalurinya setajam Rajawali, mampu mengendus peluang bisnis yang layak
ditubruk. Tak heran, gebrakannya lewat perusahaan holding yang didirikannya, PT
Rajawali Corporation, belakangan kerap mengejutkan publik.
Sekali lagi Peter membuktikan ketangguhannya dengan mampu
melewati krismon di kala beberapa konglomerat lainnya ada yang gulung tikar.
Setelah restrukturisasi grup usahanya, aksi menonjol yang pertama kali
dilakukan adalah mendirikan NetToCyber Indonesia bergerak di bidang jasa
Broadband Internet, Virtual Private Network, Internet Data Centre, dan Network
Integration pada 2001. Sayangnya, kiprah perusahaan ini tak begitu terdengar.
Setelah itu, kabar mengenai kiprah bisnis Peter mendadak sepi.
Apakah Peter meninggalkan arena bisnis tanah air? Ternyata
tidak. Selama menyepi, rupanya Sang Rajawali tengah mempersiapkan langkah
kebangkitannya. Memasuki tahun 2005, Peter membuat kejutan. Aksi korporat yang
atraktif adalah ketika ia menjual 27,3% sahamnya di Excelcomindo yang
sebenarnya termasuk salah satu bintang industri telekomunikasi nasional kepada
Telekom Malaysia Group pada 2005. Nilai saham tadi setara dengan US$ 314 juta.
Langkah divestasi ini berlanjut pada 2007 ketika Rajawali
melepaskan 15,97% sahamnya di Excelcomindo senilai US$ 438 juta kepada Etisalat
(perusahaan telekomunikasi Uni Emirat Arab). Dana dari penjualan saham ini
kemudian digunakan untuk membeli 24,9% saham PT Semen Gresik senilai US$ 337
juta dari Cemex (Cementos Mexicanos) pada 2006.
Kepakan sayap Rajawali terus berlanjut, dengan mengangkasa
menembus industri perkebunan dan pertambangan. Pada 2006, Rajawali terjun ke
bisnis perkebunan sawit yang beroperasi di Kalimantan Timur dan Sumatera yang
dalam sub-holding PT Jaya Mandiri Sukses Group. Sementara itu, industri
pertambangan di Kalimantan dirambah grup usaha ini tahun 2007 melalui PT
International Prima Coal.
Aksi korporatnya yang lebih menghebohkan lagi ketika pada
pertengahan 2009, Peter telah melepaskan 56,96% sahamnya di PT Bentoel senilai
Rp 3,35 triliun kepada British American Tobacco (BAT). Alasannya, Rajawali
sebagai investment company ingin memfokuskan perhatian pada bidang properti,
pertambangan, dan perkebunan. Dengan ketiga pilar bisnis inilah tampaknya
Rajawali ingin menjadi global player yang disegani.
Ambisi ini memang dibuktikan dengan agresifnya Grup Rajawali
memperluas jaringan hotelnya di kawasan Indonesia seperti jaringan hotel
bintang lima Sheraton di Bali, Lampung, Bandung dan Lombok, serta di Kuala
Lumpur dan Langkawi. Masih ditambah dengan pengembangan Hotel Saint Regis (Bali)
dan Novotel (Lombok). Bisnis pertambangan pun makin diseriusi Rajawali. Pada
2009, Rajawali mengakuisisi 37% saham Archipelago Resources (yang mengelola
tambang emas) seharga US$ 60 juta. Kemudian, Rajawali membentuk perusahaan
patungan dengan PT Bukit Asam di Kal-Tim.
Walaupun mengaku ingin fokus pada tiga sektor, Grup Rajawali ini
sempat diberitakan mengincar saham PT Garuda Indonesia. Entah kenapa rencana
itu batal dan Rajawali memilih join dengan pemerintah Kamboja mendirikan
National Airlines sebagai flag carrier di negara itu. Ya, dengan segudang dana
tunai hasil penjualan sahamnya di perusahaan-perusahaan bonafide yang
dimilikinya, Peter akhirnya bisa lebih leluasa kembali mengepakkan sayap
bisnisnya. Terutama dalam memantapkan ambisinya menguasai tiga bidang andalan
baru itu.
Saat ini, Rajawali menjelma sebagai organisasi bisnis yang terus
belajar dan beradaptasi dengan situasi dan kondisi bisnis terkini. Memang pada
awalnya, Rajawali merupakan sebuah konglomerasi, semakin bertambahnya usia,
khususnya pada 3 – 5 tahun terakhir ini berubah menjadi investment company.
Sebagai perusahaan investasi, Rajawali hanya akan fokus pada 3 jenis bidang
usaha, yaitu: properti-hotel, coal-mining, dan agrikultur. Sebagai perusahaan
investasi tentu budaya usahanya adalah dinamis dan kreatif.
Begitulah cerita sepak terjang pengusaha sukses asal Manado yang
lahir di Malang ini. Berangkat dari bawah hingga sampai pada jejeran pebisnis
yang disegani di tanah air. Tak heran, tahun 2006, menurut Forbes, Peter
Sondakh merupakan orang terkaya nomor 12 di Indonesia. Lalu di tahun 2007
peringkatnya naik menjadi nomor 9 terkaya, dan tahun 2008 sebagai orang terkaya
nomor 6 di tanah air dengan nilai kekayaan mencapai US$ 1,45 miliar.
7. Michael Hartono
Ternyata,
banyak sekali orang Indonesia yang sukses dalam karir sehingga banyak orang
dari seluruh dunia berdecak kagum terhadapnya. Salah seorang yang masuk ke
dalam daftar orang terkaya didunia versi majalah Forbes adalah orang Indonesia.
Beliau dikenal dengan nama Michael Hartono. Saat ini beliau berumur 72 tahun.
Pria yang jago berbisnis ini berasal dari sebuh kota kecil di Jawa Tengah yang
bernama Kudus. Beliau sudah berkecimpung dalam bisnis rokok dan perbankan
selama puluhan tahun. Walaupun rokok masih menjadi hal yang diperdebatkan di
Indonesia, tapi ternyata hal ini dapat memberikan kekayaan yang berlimpah
kepada beliau. Michael Hartono adalah orang yang mampu membuat rokok
menjadi sumber kekuatan ekonominya selain perbankan. Pria dengan 4 orang anak
ini pemilik perusahaan rokok kretek yang terkenal di Indonesia. Nama rokok
kretek yang terkenal itu adalah Djarum.
Karir beliau sebagai seorang pebisnis memang tidak selalu mulus.
Kejadian buruk pun pernah dialaminya secara berturut-turur. Satu kejadian yang
hampir membuatnya gulung tikar. Pada sekitar tahung 1960an, pabrik rokoknya
terbakar habis. Lalu ayahnya yang telah mendirikan pabrik tersebut meninggal
dunia. Bersama dengan adiknya, Robert Budi Hartono, beliau berusaha
mempromosikan produk dari perusahaannya ke luar negeri. Sekarang, Djarum
menjadi produk rokok yang diminati di Amerika Serikat. Hal ini menyebabkan
dirinya menjadi orang paling kaya di Indonesia dengan menghasilkan harta
berlimpah yang berjumlah kurang lebih 14 miliar Dollar AS. Selain berbisnis rokok,
beliau adalah seorang yang sangat berperan dalam bisnis perbankan. Beliau
memiliki saham yang besar di Bank Central Asia. Beliau memiliki 51 persen saham
disana. Perkembangan sektor perbankan tentu saja memberikan pengaruh yang baik
terhadap pertumbuhan saham mereka. Ada banyak lagi bisnis penting yang dipegang
oleh beliau. Perkebunan sawit di daerah Kalimantan Barat adalah salah satu
ladang investasinya. Dengan luas kebun sekitar 65.000 hektar, beliau pasti
mampu meraup keuntungan yang sangat besar. Grand Indonesia pun adalah salah
satu properti milik beliau.
Nama lengkap beliau adalah Michael Bambang Hartono. Bersama
adiknya, Budi
Hartono, beliau mampu mengumpulkan kekayaan yang berlebih dari bisnis
rokok, perbankan dan properti. Pengelolaan yang baik oleh beliau menghasilkan
keuntungan yang sangat besar sekali. Walaupun rokok adalah barang yang masih
menjadi kontroversi di Indonesia, beliau masih bisa mencari celah lain untuk
menghasilkan uang yang berlimpah. Ditambah lagi, Djarum bukanlah satu-satunya
pemain di industri rokok Indonesia. Masih banyak sekali merek-merek ternama
yang bersaing memperebutkan konsumen.
Namun, hal ini tetap tidak menggoyahkan Djarum. Kekayaan yang
beliau kumpulkan memang bukan saja berasal dari rokok. Ada beberapa bisnis lagi
yang beliau lakukan agar beliau masih bisa menikmati kerja kerasnya sepanjang
hidupnya.
Kisah sukses dan profil biografi Michael Bambang
Hartono yang menjadi salah satu orang dari 1000 orang terkaya di dunia
setiap tahunnya berdasarkan majalah Forbes tidak membuat Michael menjadi
sombong, tetapi beliau tetap low profile, ia adalah orang yang ramah dan sosok
yang sederhana. Oei Hwie Siang adalah nama asli dari Michael, lahir pada
tanggal 02 Oktober 1939 di kota Semarang.
Beliau merupakan salah satu pemimpin dan pemilik dari
Djarum Group bersama dengan adiknya Robert. Beliau sangat sukses di beberapa
sektor yang menjadi cakupan Djarum Group. Tidak hanya sukses di
bisnisnya, Michael juga sangat respect dengan perannya sebagai ketua umum pada
ATNI (Asosiasi Taijiquan Nasional Indonesia), Michael menghadiri
pembukaan jambore dan turnamen nasional Taijiquan yang kedua di Gedung Langit
(Pagoda Kenpark). Turnamen ini merupakan ajang untuk seleksi atlet Indonesia
yang berbakat untuk ajang internasional.
Taijiquan adalah olahraga yang berasal dari
Tiongkok, namun Michael yakin atlet Indonesia bisa memenangkannya karena
menurutnya siapapun bisa berhasil karena setiap orang memiliki kesempatan yang
sama untuk mempelajari dengan baik. Michael mempelajari Taijiquan yang berawal
dari tahun 1247, sejak 25 tahun yang lalu. Suami dari Ikawati Budiarto ini,
mempelajarinya dari master yang berasal dari Singapura, Tan Ching Nge dan
master yang berasal dari New York, Amerika, William CC Chen. Michael mengaku
mempelajarinya hanya untuk kesehatan, membela diri dan juga untuk keseimbangan
diri. Ternyata dibalik kisah sukses dan profil biografi Michael Bambang
Hartono tidak lepas dari hobi dan kebiasaan hidup yang teratur.
Beberapa hal dibalik kisah sukses dan profil bografi
Michael Bambang Hartono
Di tengah kesibukannya yang padat mengurus Djarum
beserta beberapa perusahaan lainnya, ayah dan kakek dari empat anak dan empat
cucu ini selalu memberikan waktu untuk berlatih hobinya tersebut. Biasanya ia
menyediakan waktu satu jam dari pukul 7 sampai 8 untuk latihan. Hobinya tidak
hanya Taijiquan tetapi juga balap mobil, music, bridge sampai menembak. Ada
banyak hal yang membuatnya sangat menyukai Taijiquan, menurutnya ritme lembut,
butuh konsentrasi yang tinggi, napas harus teratur serta saat ini olahraga
Taijiquan sangat banyak diminati oleh seluruh kalangan di dunia.
Awal dari terbentuknya Asosiasi Taijiquan Nasional
Indonesia adalah ketika berlangsungnya musyawarah nasional Taijiquan di
Semarang pada tanggal 17 November 2007. Berkat kehobiannya itulah di umur yang
tidak muda saat ini ia masih fit dan tidak kalah dengan anak muda, buktinya ia
masih bisa memimpin Djarum Group dan beberapa anak perusahaan
lainnya. Kisah sukses dan profil biografi Michael Bambang
Hartono membuktikan bahwa selain bekerja keras dan berkomitmen tinggi,
kita tetap harus memperhatikan kesehatan. Karena tetap kesehatan adalah hal
yang paling utama.